Sort by priceImagine a supermarket

Sort by price
Imagine a supermarket (or any store, for that matter), where the items are arranged by price. At one end is the salt and the chewing gum, and at the other end are mops and steaks.

We always think about the cost of an item before we buy it, but we don't buy it because of what it costs.

If you find yourself acting like you sell a commodity, saying, "this is category X and the price is Y" then you've ceased doing any sort of marketing. You're a commodity provider by choice, which is fine as long as you're okay with competing in a race to the bottom.

The alternative is to do the difficult and risky work of earning attention, earning a reputation and mostly telling a story that takes your product or service out of the commodity category and into a space defined by connection, meaning and possibility instead.

Low price is the refuge for the marketer who doesn't have anything more meaningful to offer

Results (Indonesian) 1:

Urut berdasarkan hargaBayangkan sebuah supermarket (atau setiap toko, hal), dimana hal ini diatur oleh harga. Pada salah satu ujung garam dan permen karet, dan di ujung mops dan steak.Kami selalu berpikir tentang biaya item sebelum kita beli itu, tapi kita tidak membelinya karena berapa biayanya.Jika Anda menemukan diri Anda bertindak seperti Anda menjual komoditas, mengatakan, "ini adalah kategori X dan harganya Y" maka Anda telah berhenti melakukan apapun pemasaran. Kau penyedia komoditi oleh pilihan, yang baik-baik saja asalkan kau baik-baik saja dengan bersaing dalam perlombaan ke bawah.Alternatif adalah untuk melakukan pekerjaan sulit dan berisiko mendapatkan perhatian, mendapatkan reputasi dan sebagian besar menceritakan sebuah kisah yang akan membawa Anda produk atau jasa dari kategori komoditi dan menjadi ruang didefinisikan oleh koneksi, makna dan kemungkinan sebagai gantinya.Harga rendah yang merupakan tempat perlindungan bagi pemasar yang tidak memiliki sesuatu yang lebih bermakna untuk menawarkan